Jumat, 25 Oktober 2013

Itu saja...

Pernahkah km berpikir betapa sulitnya menjalani hubungan seperti ini.
Memang ini keputusanku untuk bertahan.
Tapi terkadang muncul begitu banyak pikiran yang memberatkan hati ini untuk terus menjadi tegar.
Pernahkah kamu mengalaminya?

Aku sedikit bersyukur memiliki orang-orang yang selalu memberi dukungan atas apa yang aku jalani sekarang.
Orang-orang yang selalu menemani disaat bahagia atau terpuruk sekalipun.
Mereka selalu ada, bahkan tanpa aku minta sekalipun.
Orang-orang yang menggantikan posisimu.

Ada saat dimana aku sangat membutuhkanmu.
Berharap peran mereka bisa digantikan olehmu dalam beberapa waktu.

Aku tau, jika terus berpikir seperti ini
Aku telah menjadi orang yang egois
Yang tidak mengerti dan memahami keadaanmu
Keadaan yang mungkin lebih buruk dari yang biasa aku rasakan disini.

Tulisan ini aku buat hanya karena aku merindukan sosokmu disisiku
Merindukan candaan hangat yang tanpa kau sadari mampu membuat aku merasa lebih baik disaat saat seperti ini.
Yaa, aku hanya merindukanmu
Itu saja :)

Rabu, 09 Oktober 2013

Untuk kita yang memilih bertahan

Jarak, ruang dan  waktu.
3 hal ini telah berhasil membuat kita tidak bisa berbuat banyak.
3 hal yang membuat kita tidak bisa saling bersentuhan dan menatap satu sama lain.
3 hal yang membuat rasa rindu yang semakin menggebu antara kita berdua.
3 hal yang berhasil membuat kita berjuang menahan segala hasrat.

Sering terpikir olehku.
Apa yang membuat kita bertahan sampai sejauh ini?
Apa yang dapat kita handalkan dengan keadaan ini?
Haruskah menjalani hubungan yang cukup menyiksa dengan keinginan yang berbatas?
Haruskah menjalani hubungan yang cukup rumit dengan perasaan khawatir yang datang tiap menit?

Sampai saat ini kita masih belajar memahami apa itu cinta, bagaimana kekuatannya mampu membuat kita bertahan.
Jika jarak, ruang dan waktu ini tidak ada, mungkin tak akan ada air mata dan kata rindu yang berulang kali terucap ketika hanya tulisan dan suara yang mempertemukan kita dalam jarak dan ruang yang berbatas ini.

Tapi hal ini dapat kita atasi jika kita masih mengingat dan menyebut nama yang sama dalam setiap doa.
Rasa rindu, resah, gelisah, rasa ragu, dan rasa cemburu hanyalah bagian yang membuat hubungan ini manis untuk dirasakan, dijalani dan dikenang suatu hari nanti.
Semua tidak akan terasa sulit jika kita sama-sama memperjuangkan rasa yang kita miliki.

Jarak, ruang, dan waktu hanyalah sebatas angka yang memisahkan raga ini, namun sejauh kita mampu bertahan mereka tak akan bisa memisahkan hati yang telah terpaut ini.
Karena selama kita masih berada dalam satu planet yang sama, selama kita masih melihat bulan yang sama, dan disinari matahari yang sama , Maka pertemuan aku dan kamu masih sangat mungkin terjadi.



Untuk kita yang masih berjuang mempertahankan cinta yang sama...

Jumat, 13 September 2013

back ot the past

Dan pada akhirnya terjatuh ke tangan orang yang sama.
Luluh lagi dan lagi.
Karma bersamanya belum usai.
Mungkin masih banyak hal yang harus dilalui.
Entah itu karma baik atau buruk.

Hati emang gabisa dibohongi.
Seberapapun sakit yang dirasakan dulu, kalah dengan perasaan yang terlalu kuat.
Hingha akhirnya memilih untuk kembali merangkai cerita yang sempat pudar.
Merangkai gelas yang pecah!
Terasa sedikit sulit untuk menyusun dan membuat gelas menjadi utuh kembali.
Perlu kesabaran dan perjuangan yang cukup besar.

Harus disadari gelas yang telah pecah akan tetap terlihat sedikit retak
Dia tidak akan bisa sempurna seperti semula
Walau demikian dia tetaplah sebuah gelas yang pada akhirnya mampu membantu melepaskan dahaga.
Sangat berharap kali ini bisa lebih baik dari sebelumnya.
Berharap gelas bisa utuh selamanya.

Wah♡

Senin, 27 Mei 2013

notitle



Sebenarnya kamu telah memberiku ruang untuk melepaskan diri,
tapi aku terlalu kuat berpegangan padamu dan tak ingin melepaskanmu.
Aku terlalu takut untuk berjalan sendiri,
terlalu takut tidak bisa menangkap dan memegangmu lagi.
Walau sesunguhnya dengan memegangmu, aku tidak mendapatkan apapun.
Tidak mendapatkan perlindungan yang aku inginkan,
tapi entah kenapa, aku masih saja tetap berpegangan padamu
Meskipun aku tahu dengan berpengan padamu, hanya rasa lelah yang aku dapatkan.
Lelah karena mencengkrammu terlalu kuat.
Kini aku akan belajar untuk melepaskan pegangan ini.
Aku akan belajar membuat diriku kuat berdiri sendiri tanpa berpegangan lagi padamu.
Aku yakin bisa, yaa semoga bisa..
Hanya satu harapanku,
Entah kapanpun itu, semoga saja aku masih bisa untuk sekedar menyentuhmu.

Rabu, 01 Mei 2013

Bodoh!

Sudah hampir 10 tahun kita tidak pernah lagi bertegur sapa
Sesungguhnya aku sangat ingin, tapi egoku terlalu tinggi
Sekedar tersenyum padamu pun aku masih tidak mau melakukannya
Begitupun kamu, kamu memilih melakukan hal yang sama denganku
Diam dan tetap pada egomu
Apakah selamanya kita akan seperti ini?
Apakah selamanya kamu akan menjadi musuh sekaligus cinta pertamaku?
Entahlah....
Untuk saat ini aku masih berpegang pada egoku yang tinggi itu
Aku terlalu munafik untuk memulai memecah keheningan diantara kita
Mungkin esok, lusa, bulan depan, tahun depan, atau tahun-tahun berikutnya aku kan melakukannya
Mungkin...

Rabu, 10 April 2013

if one day...


if one day you feel like crying, call me
I don't promise that
I will make you laugh
But I can cry with you.

If one day you want to run away
Don't be afraid to call me.
I don't promise to ask you to stop,
But I can run with you.

If one day you don't want to listen to anyone , call me
i promise to be there for you
but i also promise to remain quiet

But
If one day you call
and there is no answer
come fast to see me

Perhaps I need you, cause you are my everything :)


(Robert J. Lavery)

Senin, 18 Maret 2013

Rahajeng Nyanggra Rahina Galungan :)



2.1       Pengertian dan Tujuan Hari Raya Galungan
Galungan pada awalnya adalah nama sebuah wuku, yaitu wuku kesebelas dari ketiga puluh wuku. Nama lain dari Galungan adalah wuku Dungulan. Karena pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan atau Galungan dijadikan sebagai hari raya, maka hari raya tersebut disebut hari raya Galungan.
Hari raya Galungan dilaksanakan setiap enam bulan sekali yaitu tepatnya pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan. Hari raya Galungan dirayakan sebagai Pewedalan Jagat atau Oton Gumi, karena pada hari ini umat Hindu Indonesia menghaturkan rasa bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas terciptanya dunia dengan segala isinya. Umat Hindu merasa bersyukur karena Ida Sang Hyang Widhi telah beryadnya, telah menciptakan alam dengan segala manifestasinya.Hari raya Galungan juga sering disebut dengan hari kemenangan, yang sekaligus diperingati sebagai hari kemerdekaan.Kemenangan yang terus bermakna kemerdekaan jiwa manusia.Kemenangan kebenaran dari kelaliman.Hari menyerah, kalahnya musuh-musuh manusia.
Seperti diketahui bahwa 3 hari sebelum hari raya Galungan yaitu tepatnya sejak hari Minggu Paing wuku Dungulan, manusia telah mulai digoda oleh Butha Kala Tiga. Butha Kala Tiga itu adalah Sang Butha Galungan, Sang Butha Dungulan, dan Sang Butha Amangkurat.Ketiga Butha Kala itulah yang hendak menggoda kekuatan sradha manusia dalam menyongsong, menyambut, dan merayakan hari raya Galungan serta hari-hai selanjutnya.Untukmenetralisir Sang Hyang Wisesa yang berwujud sebagai Bhatara Kala (Bhatara Galungan) maka dibuatkanlah sesajen untuk para Butha dan Kala itu.
Selain dari itu, pada wuku Dungulan ini berturut-turut tiga hari juga ditemui Jaya Tiga.Jaya yang berasal dari urat kata ji (bahasa Sansekerta) berarti menang.Dari pengertian tersebut memang seharusnyalah Kala itu ditaklukkan dengan usaha mencapai kejayaan.Maka dari itulah hari raya Galungan disebut dengan hari kemenangan yang diistilahkan oleh Mpu Sedah dengan dungulaning parangmukha yaitu hari menyerah-kalahnya musuh-musuh manusia.
Demikianlah pada setiap hari raya Galungan umat Hindu Indonesia membuat suatu persembahan dan melaksanakan persembahyangan guna mengucapkan rasa syukur dan terima kasih atas anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
2.2       Makna Filosofis Galungan
Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut wuku Dungulan.Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama, yaitu manis.
Dalam Buku Yadnya dan Bhakti, Ketut Wiana dijelaskan bahwa Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad).Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan juga merupakan salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma.Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sundarigama dijelaskan sebagai berikut:
“Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep”
Artinya: Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Dari konsepsi lontar Sundarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma.Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang.Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri.Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma.
2.3       Sejarah Hari Raya Galungan
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali, yaitu pada abad IX.Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi dan Pararato. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Ada dua mitologi yang dihubungkan dengan perayaan Galungan sekaligus dengan peperangannya untuk mencapi kemenangan atau kemerdekaan.Mitologi pertama adalah peperangan antara raja Mayadanawa dengan Bhatara Indra. Dimana diceritakan Mayadanawa ini melarang para rakyatnya untuk melaksanakan hari raya Galungan dan ia berani melawan siapapun yang menentangnya. Kemudian terjadilah peperangan antara Dewa Indra dengan Mayadanawa.Dimana Bhatara Indra berpegang pada dharma dan Mayadanawa berpegang pada adharma.Akhirnya Mayadanawa kalah dengan kematian yang sangat tragis, kepalanya dipenggal, kaki dan tanggannya dipotong-potong.Untuk memperingati kemenangan itu, Dewa Indra memerintahkan diselenggarakannya hari raya Galungan.Yang artinya dipenggal atau dielungin.Adapun tujuannya adalah agar seluruh umat tidak mengikuti ajaran-ajaran sesat dari Mayadanawa.
Mitologi yang kedua adalah Pewarah-warah Bhatari Dhurga kepada Sri Jaya Kasunu. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan :
“Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804.Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.”
Artinya: Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan.Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi.Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti.Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek.Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya yang artinya mendekatkan diri pada Dewa.Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan.Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku.Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya.Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
2.4       Perayaan Hari Raya Galungan
Hakekat dari hari raya Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharmaUntuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan.Sebelum mengarah pada acara puncak ada baiknya diikuti reruntutan dari persiapan hari raya Galungan.
1.      Tumpek Wariga
Pada hari ini umat Hindu melakukan pemujaan memohon kepada Sang Hyang Sangkara sebagai Dewa tumbuh-tumbuhan agar melimpahkan anugrah berupa kesuburan hidup tumbuh-tumbuhan itu sehingga memberi bunga, daun, buah biji dan umbi yang dapat berguna sebagai sarana upakara dalam perayaan hari raya Galungan. Tumpek Wariga ini jatuh pada Saniscara Kliwon wuku Wariga, tepatnya 25 hari sebelum hari raya Galungan.
2.      Sugihan
Sugihan merupakan hari pembersihan atau pesucian.Sugihan terdiri dari 3 tahapan.Pertama, adalah Sugihan Tenten yang jatuh pada Buda Pon wuku Sungsang.Adapun yang dilaksanakan pada hari ini adalah melakukan persiapan mengingat hari raya Galungan sudah dekat.Persiapan –persiapan itu berupa melakukan pembersihan dipura atau sanggah serta bangunan suci lainnya, mempersiapkan atau membersihkan segala peralatan upacara seperti wastra, sangku, bokor dan sebagainya.Dengan adanya persiapan ini bisa mengantisipasi kekukarangan atupun kerusakan sehingga tidak mengganggu jalannya persembahyangan pada hari raya Galungan.
Kedua, adalah Sugihan  Jawa yang jatuh pada Wrespati Wage Sungsang. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan semesta ( Bhuwana Agung), di luar manusia karena pada hari ini semua Bhatara- Bhatari turun kedunia diiringi oleh para Pitara dan Roh suci leluhur. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci.Selain itu dilakukan juga pebersihan secara niskala dengan menghaturkan banten parerebuan.
Ketiga adalah Sugihan Bali yang jatuh pada Sukra Kliwon wuku Sungsang disebutkan :Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.Penyucian dapat dilakukan dengan matirta gocara (malukat) dan baiknya diiringi yoga samadi serta pesembahyangan guna menghilangkan kekotoran dan pikiran negatif yang menggoda manusia.
3.      Penyekeban
Pada hari Redite Paing wuku Dungulan disebut dengan Penyekeban atau Panapean. Dalam prakteknya hari ini dilakukan dengan memeram (sekeb) buah-buahan yang masih mentah agar bias masak pada hari Galungan nanti serta membuat tape yang dapat digunakan pada Galungan.
Melihat dari kata “sekeb” yang berarti menyimpan adalah sebagai simbolis agar kita mampu menyimpan dan mengendalikan hawa nafsu untuk mendapatkan kematangan rohani mengingat pada hari Penyekeban ini mulai turunnya Sang Hyang Tiga Wisesa yang berwujud Sang Kala Tigayang berwujud Sang Butha Galungan untuk menguji kekuatan Srada manusia. Oleh karena itu dianjurkan agar umat Hindu waspada dengan segala godaan serta meningkatkan kesucisn dan pengendalian diri agar tidak dirasuki kekuatan negatif dari Sang Butha Galungan tersebut.Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh  SangButha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Sang Butha Galungan.
4.      Penyajaan
Penyajaan jatuh pada Soma Pon Dungulan.Pada hari ini umat Hindu membuat jajan yang digunakan sebagai sarana pelengkap upakara yang dipersembahkan pada hari raya Galungan.
Dilihat dari asal katanya, “jajah” berarti menaklukkan.Sang Kala Tiga yang berwujud Sang Bhuta Dungulan lebih berusaha agar dapat menaklukkan manusia, sebaliknya manusia pun harus lebih berusaha agar dapat memenangkan, sehingga tidak dijajah.Usaha meningkatkan kewaspadaan itu adalah dengan mohon perlindungan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan.Dalam lontar disebutkan, "Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi."
5.      Penampahan
Penampahan Galungan jatuh pada Anggara Wage wuku Dungulan. Pada hari ini umat memotong hewan ( nampah) untuk persiapan hari raya Galungan, terutama untuk membuat caru yang digunakan untuk menetralisir kekuatan-kekuatan negatif dari Sang Kala Tiga agar kembali keasalnya. Pada hari ini Sang Butha Amangkurat turun untuk menguasai dunia dan manusia. Oleh karena itulah pada saat ini menjadi kewajiban agar umat Hindu menghaturkan banten byakala di halaman rumah, memohon pembersihan dan penyucian lahir bathin agar roh-roh jahat tidak mengganggu kita dalam melaksanakan hari raya Galungan. Selain itu umat juga harus menancapkan penjor sebagai lambang ucapan syukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
6.      Galungan
Pada hari Buda Kliwon Dungulan adalah puncak hari raya Galungan yang memperingati hari kemenangan dharma melawan adharma.Terbebasnya pikiran dari belenggu emosi, hawa nafsu yang negatif.Pada hari ini Umat Hindu melaksakan persembahyangan dan mempersembahkan sesajen banten di tempat-tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan.Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma.Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah dan juga mengunjungi sanak saudara (Dharma Santi) saling kunjung mengunjungi, maaf memaafkan kepada keluarga, sahabat maupun kenalan lainnya.
7.      Pemaridan Guru
Pemaridan Guru jatuh pada Saniscara Pon wuku Dungulan. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara.Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
2.5       Macam-macam Galungan
Meskipun Galungan itu disebut Rerahinan Gumi artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya.Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu:
1.      Galungan (tanpa ada embel-embel)
Galungan adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma.Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan "Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan."Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan.Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku.Jika Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
2.      Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober. Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka.Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu.Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah.Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan.Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi.Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.
3.      Galungan Nara Mangsa
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga.Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut: "Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran."Artinya: Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya. Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut: "Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah".Artinya: Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya.Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan "Dewa Mauneb bhuta turun" yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia.Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilangsungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen "tumpeng Galungan".Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
2.6       Makna Penjor dalam Perayaan Galungan
Hari raya Galungan disambut dengan suka cita dan rasa gembira. Salah satu kemeriahan Galungan adalah denganpemasangan penjor yang dipasang di halaman depan rumah. Penjor dibuat dari sebatang bambu yang dihiasi dengan indah dari berbagai hiasan janur, bunga, daun-daunan, buah-buahan seperti kelapa, padi, jagung, pisang serta umbi-umbian seperti ketela, talas, ubi, dan lain-lain.Berjenis-jenis jajan-jajan, tebu termasuk selembar kain warna putih.
Penjor ini memgandung makna nilai spiritual dan memiliki arti seperti Sarin Tahun, Lambang Naga Ananta Bhoga, dan Lambang Naga Basuki.Penjor yang dipasang pada hari raya Galunagan merupakan satu persembahan bagi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi beliau sebagai Bhatara Mahadewa yang diangga berkedudukan di Gunung Agung.Segala perlengkapan dalam penjor itu merupakan lambang ucapan syukur atas anugerah kemakmuran yang telah diberikan Beliau.
Dalam hal ini, penjor juga merupakan lambang Naga Anantha Bogha sebagai simbolis tanah dan lambang naga Basuki sebagai simbolis keselamatan.Jadi penjor dapat diartikan memberikan keselamatan dari penyakit maupun penderitaan terhadap bumi dan segala isinya.
Pemasangan penjor pada Galungan Nadi (Purnama), perlengkapannya sama dengan Galungan biasa. Sedangkan pada Galungan yang jatuh pada Tilem, perlengkapannya ditambah dengan meletakkan lampu minyak kelapa di bawah bagian penjor.
Demikianlah pada setiap hari raya Galungan umat Hindu membuat suatu persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kehadapan para dewa, leluhur dengan membuat serangkaian upacara dengan sesajennya dari bahan hasil-hasil bumi yang juga bermakna ucapan terima kasih atas anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
2.7       Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India.Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India.Ini bisa dilihat dari kata "Wijaya" (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata "Galungan" dalam bahasa Jawa Kuna.Kedua kata itu artinya "menang".
Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula "Hari Raya Dasara".Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk.Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma.Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara.Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya.Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April).Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri.Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti.Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha.Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa.Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti.Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi.Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya.Berbeda dengan di Bali.Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Parayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan.Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya.Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan.Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri.Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu.Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu.Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh.Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan.Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka.Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai.Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya.Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria.Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu.Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan.Kasih sayang itulah suatu "sakti" atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma.Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama.Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma.Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan.Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma.Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.
Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari.Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang.Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)